Di dalam mempelajari sesuatu seringkali kita kurang memperhatikan bahwa
suatu karya pada hakikatnya merupakan realisasi dari kehendak penciptanya.
Kurangnya perhatian terhadap hal yang demikian tadi membuat kita sulit untuk
menentukan secara pasti mengenai motivasi dan tujuan dari dilakukannya suatu
kegiatan.
Di dalam salah satu tulisan di media elektronik, dan juga pernah
terlontar dalam suatu forum diskusi yang informal, suatu pertanyaan yang
mendasar tetapi obyektif dan kritis sehingga menarik untuk direnungkan, yaitu
tentang proses penyusunan Al Qur’an.
Pertanyaannya adalah mengapa penyusunan ayat-ayat Al Qur’an itu terkesan
tidak teratur atau acak-acakan, topik dari ayat-ayatnya terlihat
meloncat-loncat, tidak seperti buku-buku pada umumnya yang pola penyusunannya
sudah menggunakan kaidah-kaidah penulisan suatu karya tulis, sehingga alur
penjelasannya menjadi runtut dan teratur. Dengan cara penyusunan ayat
yang topiknya meloncat-loncat, maka apabila surat dibaca secara runtut dari
awal hingga akhir, hasilnya adalah kebingungan pada saat mau membuat kesimpulan
dari apa yang telah dibaca tersebut.
Kejanggalan-kejanggalan sistim penulisan tersebut antara lain dapat
disebutkan sebagai berikut,
Pertama, adanya hubungan yang tidak jelas antara topik suatu kelompok ayat
dengan kelompok lainnya dalam suatu surat. Gejala semacam ini sangat dirasakan
oleh mereka yang tidak mengerti tulisan maupun bahasa Arab. Dengan kondisi yang
demikian tersebut, maka satu-satunya usaha pemahaman yang memungkinkan
untuk dilakukan hanyalah belajar melalui Tafsir Al Qur’an.
Kedua, hal yang serupa juga dapat dilihat pada hubungan judul surat dengan
ayat-ayat yang ada di dalamnya. Padahal fungsi judul adalah menunjukkan tema
dari topik atau pokok-pokok pikiran dari seluruh ayat yang ada. Dengan
demikian, seharusnya antara judul surat dengan ayat-ayat yang ada di dalamnya
terdapat hubungan makna yang erat sekali. Namun kenyataan yang ada tidak
demikian. Bahkan terdapat 4 surat yang judulnya tidak dapat dialih bahasakan.
Kondisi yang demikian ini disertai dengan tidak adanya penjelasan yang logis,
dapat berakibat pada menurunnya rasa ingi tahu.
Ketiga, meskipun ayat-ayat maupun susunan ayat-ayatnya tidak berubah, tetapi
judul surat bahkan judul Al Qur’annya sendiri lebih dari satu. Berbeda
halnya dengan karya manusia, dengan materi tulisan yang sama buku ilmu
pengetahuan hanya mampu menjelaskan satu tema pokok yang tertentu, tidak bisa
lebih.
Keempat, yang perlu direnungkan, meskipun fakta-faktanya menunjukkan adanya
ketidak teraturan, namun manusia tidak di benarkan untuk merubah posisi surat
maupun posisi ayat di dalam suatu surat. Sebab dalam salah satu ayatnya
disebutkan bahwa metoda penyusunan yang demikian itu merupakan cara Tuhan di
dalam menjelaskan kandungan keilmuan Al Qur’an, oleh karena itu bersifat
otoritatif.
Sesungguhnya telah Kami datangkan sebuah Kitab kepada mereka. Kami jelaskan
atas dasar-dasar ilmu pengetahuan dari Kami sebagai petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman.
(QS. 7 Al A’raaf: 52).
Catatan: lihat juga QS. An Nisa’: 166; QS. 17 Al Israa’: 36 dan QS. 8 Al
Anfaal: 22.
Dari ayat tersebut di atas, dengan jelas dinyatakan bahwa metoda yang
dipakai di dalam penyusunan Al Qur’an sudah menggunakan dasar-dasar atau
kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, jadi bukan sekedar hanya merupakan kumpulan
informasi yang bersifat historis- normatif. Dengan disebutkannya ilmu pengetahuan
dari Kami menunjukkan bahwa, obyek kajian Al Qur’an bukan hanya sebatas ilmu
pengetahuan yang sudah dimiliki oleh manusia sekarang, tetapi bahkan sampai
akhir jaman kandungan keilmuannya tak akan pernah selesai dikaji.
Seandainya semua pohon-pohonan di bumi dijadikan pena dan lautan menjadi
tintanya, sesudah kering ditambah lagi dengan tujuh lautan, semuanya akan
kering, namun tak akan habis-habisnya Kalam Allah dituliskan. Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Luqman: 27)
Catatan: lihat juga QS.18 Al Kahfi: 109.
Obyek kajian Al Qur’an meliputi seluruh ciptaan Tuhan, baik yang bersifat
fisikal maupun yang nonfisikal (gaib). Dari seluruh mahluk ciptaan Tuhan yang
ada, dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu alam dan manusia.
Dan bagi orang-orang yang yakin, di muka bumi terdapat ”tanda-tanda
kekuasaan Tuhan”. Dan pada dirimu sendiri ”tanda-tanda kekuasaan Tuhan” itu
tidakkah kamu perhatikan?
(QS. Adz Dzaariyaat: 20; 21).
Seluruh ciptaan Tuhan pada hakikatnya adalah ayat yang sering sekali disebut
sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhan atau sunatullah yang secara faktual kita
sebut sebagai seluruh fenomena alam semesta. Antara alam dan manusia terdapat
persamaan dan perbedaan yang mendasar. Persamaannya, kedua-duanya terdiri atas
unsur-unsur yang bersifat fisikal maupun yang nonfisikal. Sedangkan
perbedaannya, pola kehidupan alam sudah given atau sudah pasti sehingga alam
tidak mampu menjadikan dirinya sendiri seperti apa yang dikehendakinya.
Atau dengan kata lain dapat disebutkan bahwa kepatuhan alam terhadap
perintah Tuhan bersifat total. Berbeda halnya dengan manusia yang oleh
Penciptanya dikarunia akal budi dan kehendak bebas (freewill). Dengan adanya
kehendak bebas tersebut maka setiap manusia mempunyai kehendak, keinginan
atau nafsu serta kemampuan merealisasikan kehendak tersebut, misalnya membuat
dirinya sendiri menjadi seperti apa yang diinginkannya.
Dengan adanya pengertian ayat sebagai fakta, maka fakta-fakta yang bersifat
fisikal keberadaannya dapat ditangkap oleh pancaindera, tidak demikian halnya
dengan fakta-fakta yang gaib, misalnya malaikat, jin dan ruh. Berbeda dengan
kegaiban mahluknya, kegaiban Tuhan bersifat absolut karena hanya sebagian kecil
dari pengetahuan tentang diri-Nya yang diberikan kepada manusia. Dengan
demikian manusia tidak mungkin akan mampu memahami totalitas dari Dzat Tuhan.
Karena fakta menurut pengertian Al Qur’an meliputi yang fisikal maupun yang
gaib, maka rasionalitas Al Qur’an bukanlah rasionalitas yang bersifat
materialistis seperti ilmu pengetahuan Barat, Keberadaan kegaiban merupakan
suatu fakta oleh karena yang gaib juga bersifat rasional. Yang seringkali
terjadi, sesuatu itu dikatakan gaib apabila penjelasan rasionalnya belum ada,
tetapi apabila fenomena tersebut sudah mampu dijelaskan secara rasional maka
dia sudah tidak dianggap bersifat gaib lagi.
Dari waktu ke waktu, cara berfikir manusia senantiasa mengalami
perkembangan, semakin lama semakin kritis, realistis, sistimatis dan logis.
Kondisi perkembangan manusia yang demikian tersebut merupakan indikator tentang
perkembangan kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan. Sampai dengan
saat sekarang ini, konstruksi pemahaman agama sebagai suatu ilmu pengetahuan,
kebanyakan masih terbatas kepada hal-hal yang bersifat historis-normatif
seperti misalnya sorga- neraka, dosa-pahala, kisah para nabi maupun orang-orang
yang hidup pada masa lalu lengkap dengan segala ancaman-ancaman (?)
Tuhan. Ini bukan masalah benar atau salah, tetapi mengingat perkembangan
manusia yang demikian tadi, apakah model pemahaman yang demikian tadi masih
relefan sehingga tetap harus dipertahankan kelangsungannya.
Berdasarkan atas perkembangan pemikiran manusia tersebut, maka yang
lebih diperlukan adalah digalakannya Kajian Islam. Salah satu caranya adalah
melakukan pemikiran-pemikiran atau usaha untuk mentransendensikan Al Qur’an
supaya pemahamannya tidak hanya terfokus kepada Kajian Keislaman, yaitu
pemikiran ataupun warisan-warisan masa lalu yang kebanyakan masih bersifat
historis-normatif, sehingga menyebabkan tersekat-sekatnya pemahaman oleh
ajaran-ajaran, doktrin-doktrin yang dogmatis maupun intepretasi yang bersifat
ekstra subyektif. Sebab pemikiran-pemikiran yang demikian tadi cenderung
mengakibatkan tersendatnya dialog apabila berbicara dengan orang yang
belum/tidak pernah mengalaminya.
Berdasarkan atas QS. Al A’raaf: 52 seperti yang sudah disebutkan di atas, Al
Qur’an sudah seharusnya diposisikan sebagai sumber informasi, sumber data-data
serta sebagai ilmu pengetahuan tentang kehidupan alam semesta dengan segala
kehidupan yang ada di dalamnya. Dengan demikian kita menjadikan Al Qur’an bukan
semata-mata sebagai postulat teologis tetapi sekaligus juga memposisikannya
sebagai sumber teori. Elaborasi yang dilakukan terhadap konstruk-konstruk
teoritis Al Qur’an yang demikian tadi pada akhirnya akan menghasilkan
perumusan-perumusan teoritis yang dapat dipakai untuk membangun perspektif Al
Qur’an di dalam memahami realita kehidupan.
Apabila kita melihat sistim pengetahuan Islam yang murni (Al Qur’an),
sesungguhnya Islam mengajarkan cara berfikir yang rasionalistis-empirisdan
kontekstual. Namun dalam perkembangannya seringkali didominasi oleh
pemahaman-pemahaman yang magis dan mistis, sehingga akhirnya fungsi Al Qur’an
tak ubahnya sebagai gudang mantra. Padahal pada sisi lainnya, Al Qur’an
berkali-kali menekankan arti penting dari penggunaan akal pikiran dalam mencari
pengetahuan melalui kegiatan observasi.
Penggunaan akal pikiran atau sikap rasionalistis membutuhkan kerangka pemikiran
yang disiplin, kritis, sistimatis dan logis dengan logika deduktif sebagai
sendi pengikatnya. Pada sisi lainnya terdapat dunia empiris yang obyektif, yang
berorientasi pada fakta sebagaimana adanya. Kesimpulan umum yang dapat ditarik
dari dunia empirik secara induktif merupakan tonggak penguji terhadap
suatu teori tentang kebenaran. Sebab kebenaran suatu keilmuan bukan sekedar
merupakan kesimpulan rasional yang koheren dengan sistim kebenaran ilmu
pengetahuan yang telah ada, tetapi juga harus sesuai dengan kenyataan yang ada.
Hal yang demikian ini tak ubahnya dengan kebenaran sejati Al Qur’an
dimana kebenaran teoritisnya (ayat kauliah) sekaligus merupakan kebenaran
empiris (ayat kauniah). Kebenaran sejati inilah yang juga menjadi tujuan ilmu
pengetahuan, sebab tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menjelaskan sesuatu
sebagaimana adanya.
Untuk mencapai kebenaran sejati tersebut, maka di dalam dunia ilmu pengetahuan
dikenal adanya Metoda Keilmuan yang pada dasarnya merupakan penggabungan antara
rasionalisme dengan empirisme. Dengan adanya Metoda Keilmuan, maka antara
gagasan atau buah pikiran dengan ilmu pengetahuan menjadi dapat dibedakan.
Dengan demikian hakekat keilmuan ditentukan oleh dilakukannya cara berfikir
yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan suatu keilmuan. Hal ini diungkapkan
agar kita menjadi sadar sehingga tidak menempatkan ilmu pengetahuan pada
struktur feodalisme terselubung yang akhirnya hanya akan menghasilkan fanatisme
terhadap faham individu ataupun kelompok.
Proses yang sama sebenarnya juga terjadi pada penyusunan Al Qur’an, sebab
proses turunnya setiap wahyu juga berdasarkan atas fakta-fakta kehidupan yang
faktual pada masanya. Oleh sebab itu dikenal adanya 2 macam ayat, yaitu ayat
kauniah atau fakta-fakta yang ada di realitas yang merupakan penyebab dari
turunnya wahyu, sedangkan yang satunya lagi adalah ayat kauliah yang merupakan
wahyu yang kemudian ditulis sehingga bentuknya menjadi tulisan atau. Kajian
terhadap ayat kauniah akan menghasilkan kebenaran empiris, sedangkan kajian
terhadap ayat kauliah akan menghasilkan kebenaran rasional yang subyektif.
Untuk mencapai kebenaran yang hakiki atau kebenaran sejati, maka untuk
mengetahui salah atau benarnya, maka kebenaran rasional yang subyektif tersebut
terlebih dahulu harus diuji dengan kebenaran empiris yang ada di realitas.
Dari QS. Al A’raaf: 52, seperti yang telah disebutkan di atas, kalimat
yang menyatakan Kami jelaskan atas dasar-dasar ilmu pengetahuan dari Kami
sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dapat
diintepretasikan bahwa cara penyusunan Al Qur’an sudah sesuai dengan
dasar-dasar penyusunan karya imiah masa kini. Pola penyusunannya tersebut
merupakan petunjuk untuk menggali keilmuan atau rahmat yang berguna di dalam
kehidupan kita sehari-hari. Sedangkan kata-kata ilmu pengetahuan dari Kami
mengisyaratkan adanya perbedaan yang menyangkut masalah kelengkapan antara ilmu
pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan masa kini yang dikembangkan oleh
orang-orang Barat. Menurut Einstein, ilmu pengetahuan itu berawal dari fakta
dan berakhir dengan fakta, apapun teori yang disusun di antaranya. Dengan
demikian obyek yang menjadi kajian ilmu pengetahuan adalah fakta-fakta.
Mengenai fakta yang dijadikan obyek kajian, ilmu pengetahuan barat membatasinya
sebatas materi yang bersifat fisikal, sedangkan hal-hal atau materi yang
bersifat gaib tidak dimasukkan sebagai obyek kajian, dengan alasan sulit
melakukan ferifikasi terhadap validitas dan kebenarannya. Lain halnya dengan
kajian ilmu agama, materi yang bersifat gaib tetap di anggap sebagai fakta
sebab rujukannya adalah Kitab Suci, oleh karena itu obyek kajiannya sebenarnya
lebih lengkap.
Pernyataan bahwa penjelasan atau penyusunan Al Qur’an telah menggunakan
dasar-dasar pengetahuan atau metode keilmuan, merupakan penjelasan secara tidak
langsung bahwa susunan surat-surat maupun ayat-ayat di dalam surat, sudah
menggunakan sistimatika dan metode keilmuan. Sistim berasal dari bahasa Yunani,
yaitu systema yang berarti keseluruhan yang bulat dan utuh. Dengan demikian
kata sistim pada dasarnya dapat dijelaskan sebagai suatu kegiatan atau proses
yang bersifat integratif dan transformatif dari seluruh komponen-komponen yang
ada di dalamnya. Dikatakan integratif karena proses tersebut bersifat
menyeluruh karena melibatkan seluruh komponen yang ada yang fungsinya
berbeda-beda satu sama lain. Disebut transformatif karena dari proses yang
melibatkan seluruh komponen-komponen yang tersebut kemudian menghasilkan
sesuatu yang baru. Dengan demikian, suatu sistim mempunyai pengertian yang jauh
berbeda dengan kumpulan, sebab kumpulan tidak menghasilkan sesuatu yang baru.
Artinya adalah bahwa Al Qur’an bukan sekedar merupakan kumpulan surat-surat dan
ayat-ayat, yang kemudian dikumpulkan menjadi satu. Tetapi lebih daripada itu,
semua komponen-komponennya tersebut satu sama lainnya saling berinteraksi atau
berhubungan sehingga mejadi satu kesatuan informasi yang utuh.
Tidak ada bedanya dengan sistem-sistem lain pada umumnya, Al Qur’an sebagai
suatu sistim informasi juga mempunyai ciri-ciri sebagai berikut,
Pertama, setiap sistim selalu mempunyaitujuan. Ciri utama dari suatu sistim
adalah selalu berorientasi kepada tujuan, sehingga setiap proses yang terjadi
di dalamnya juga selalu mempunyai tujuan. Sedangkan apa yang dikatakan sebagai
tujuan pada dasarnya merupakan realisasi dari keinginan atau kehendak yang
terukur dan oleh karena itu dapat dijelaskan dan dipahami. Tujuan sistimasasi
Al Qur’an adalah supaya manusia dapat mengetahui apa kehendak Tuhan terhadap
dirinya dalam posisinya sebagai salah satu komponen alam semesta.
Allah menciptakan Alam Semesta ini dengan tujuan yang nyata, justru itu
setiap orang akan menerima ganjaran menurut usahanya, sedang mereka tidak
teraniaya.
(QS. Al Jatsiyah: 22)
Catatan: lihat juga QS. 46 Al Ahqaaf: 3 ; QS.48 At Taghabun: 3.
Untuk merealisasikan tujuan-Nya tersebut, Tuhan telah merencanakan posisi
dan fungsi setiap manusia di dalam tatanan alam semesta, yaitu sebagai Khalifah
yang mempunyai hak dan kewajiban untuk mengelola dan melestarikan alam yang
berfungsi sebagai penunjang kehidupannya.
Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: ”Sesungguhnya Aku Akan
mengangkat Adam menjadi khalifah di muka bumi. Para malaikat bertanya: ”Mengapa
Engkau hendak menempatkan di permukaan bumi orang yang akan membuat bencana dan
menumpahkan darah, sedang kami senantiasa bertasbih memuji dan menyucikan-Mu?”
Allah kemudian berfirman: ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa-apa yang tidak kamu
ketahui”.
(QS. Al Baqarah: 29)
Merupakan suatu keniscayaan, seorang pemimpin mampu melaksanakan fungsi
kepemimpinannya dengan baik dan benar tanpa memiliki ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, tujuan sistimasasi Al Qur’an adalah menjadikannya sebagai sistim
pengetahuan yang dapat membantu setiap manusia di dalam merealisasikan fungsi
kekhalifahannya secara tepat.
Kedua, sistim itu mempunyaibatas. Manusia adalah salah satu subsistim dari
sistim besar yaitu sistim kosmik. Disebabkan oleh keadaan dirinya yang demikian
tadi, yaitu sebagai salah satu komponen dari sistim kosmik yang merupakan
sistim besarnya, maka sistim karya manusia mempunyai jarak (batas) dengan
lingkungannya yang merupakan sistim besarnya. Al Qur’an sebagai Kitab Besar
(alam semesta) adalah sebuah sistim besar yang merupakan salah satu bagian dari
sistimyang jauh lebih besar lagi, yaitu Tuhan. Oleh sebab itu Tuhan itu ada di
dalam diri setiap ciptaan-Nya, tetapi sekaligus juga mencakup, meliputi dan
mengatasi keseluruhan ciptaan-Nya tersebut, seperti yang disebutkan oleh ayat
berikut ini.
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya. Dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat nadinya.
(QS. Qaaf: 16).
Sebagai suatu sistim pengetahuan yang obyek kajiannya meliputi seluruh
ciptaan Tuhan, dengan sendirinya Al Qur’an sebagai subsistim dari Pencipta-nya
yang merupakan sistim besarnya, maka Al Qur’an tidak mampu menjelaskan tentang
diri Tuhan sebagai Sistim Yang Maha Besar tersebut. Sebab suatu karya pada
dasarnya merupakan gambaran yang tidak sempurna dari penciptanya, oleh sebab
itu suatu karya tidak dapat menjelaskan secara menyeluruh tentang diri
penciptanya. Demikian juga halnya dengan Al Qur’an, sebagai suatu sistim
pengetahuan maka batasnya adalah lingkungan besar yang meliputi dirinya
dan oleh karena itu tidak dapat dijelaskannya, yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta.
Ketiga, setiap sistim pada dasarnyabersifatterbuka, dia bersifat responsif
terhadap adanya stimulasi yang disebabkan karena adanya interaksi dengan
lingkungan. Karena berasal dari penjelasan Tuhan, maka ayat-ayat kauliah maupun
susunannya bersifat konstan, tidak berubah-ubah atau dengan kata lain sudah
dibakukan. Pada pihak lain, ayat-ayat kauiniah bersifat dinamis, berubah-ubah
terus sesuai dengan kebutuhan hidup manusianya, namun selalu cenderung kembali
ke kodratnya dia yang secara total tunduk dan patuh terhadap hukum alam
(sunatullah). Adanya kondisi yang demikian ini, maka kajian terhadap Al Qur’an
seharusnya juga bersifat dinamis sehingga tetap bersifat responsible terhadap
realitas yang dinamis tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Tuhan sendiri
melalui beberapa ayatnya menganjurkan bahwa hendaknya manusia tidak
bersikap menutup diri terhadap dinamika yang terjadi di realitas. Anjuran yang
demikian tadi lain ditunjukkan oleh ayat berikut ini,
Dan bila dikatakan kepada mereka:” Ikutilah peraturan-peraturan yang telah
diturunkan Allah!” Mereka menjawab: Tidak! Kami hanya mau mengikuti apa-apa
kebiasaan yang telah kami dapati dari nenek moyang kami. ”Apakah akan diikuti
juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun juga, dan
tidak pula mendapat petunjuk Tuhan?”
(QS. Al Baqarah: 170)
Catatan: anjuran yang demikian juga dapat dilihat pada QS. Al Baqarah: 171;
QS. Al Ma’idah: 104 serta QS. Luqman: 21.
Keempat, terdiri atas beberapasubsistim dan setiap subsistim terdiri atas
subsistim yang lebih kecil lagi. Contohnya sebagai berikut, apabila Al Qur’an
adalah sistim utamanya, maka surat merupakan subsistimnya dengan
ayat-ayat sebagai komponen penyusunnya. Padahal ayat atau kalimat
merupakan sistim dari sejumlah kata-kata dan kata merupakan sistim dari
huruf-huruf. Dengan demikian ayat merupakan subsistim yang lebih kecil lagi
dengan komponen penyusunnya adalah kata, sedangkan kata juga merupakan
subsistim dengan huruf sebagai komponen penyusunnya.
Kelima, terdiri atas komponen yang berbeda-beda. Al Qur’an terdiri atas 10
subsistim yang satu sama lain berbeda. Komponen-komponen atau subsistim
tersebut secara faktual dapat disebutkan sebagai berikut, Al Juz, Surat, Ayat,
Kata, Huruf, Angka, Halaman, Baris, Tanda Ruku’ dan Tanda Baca. Dari 114
surat yang ada, setiap surat, mempunyai judul dan posisinya masing-masing.
Posisi surat ditunjukkan oleh Nomor Surat, sedangkan Judul Surat
menjelaskan tentang fungsinya. Dengan demikian tidak ada satupun surat yang
mempunyai fungsi yang sama, sebab posisi maupun judulnya selalu berbeda
dengan surat lainnya. Lain halnya dengan ayat yang secara tekstual sama dan
jumlahnya cukup banyak.
Posisi ayat-ayat yang sama tersebut ada yang tersebar pada beberapa surat
yang berbeda, tetapi juga ada yang secara bersamaan berada dalam satu surat.
Yang posisinya berada pada surat yang berbeda sudah jelas mempunyai fungsi yang
berbeda pula, yaitu sesuai dengan judul surat dimana ayat-ayat tersebut berada.
Sedangkan yang berada dalam surat yang sama, perbedaan fungsi tersebut
ditunjukkan oleh posisi masing-masing ayat di dalam surat yang bersangkutan.
Sebab di dalam suatu sistim/struktur, perbedaan posisi menjelaskan adanya
perbedaan fungsi.
Keenam, setiap komponennya saling berhubungan dan saling melengkapi. Suatu
sistim merupakan organisasi dari seluruh komponen yang ada di dalamnya.
Terdapatnya sifat saling berhubungan yang ada pada setiap komponennya
menunjukkan adanya interaksi internal, sedangkan hubungan yang bersifat saling
melengkapi menunjukkan adanya sifat interdependensi atau saling ketergantungan
antara suatu komponen terhadap komponen-komponen lainnya. Dengan terjadinya
hubungan yang demikian maka output yang dihasilkan suatu komponen dapat menjadi
input bagi komponen lainnya. Selain itu, sifat hubungan yang demikian itu
sekaligus menjelaskan bahwa di dalam suatu sistim tidak ada fenomena kejadian
tunggal, semua kejadian bersifat kausalitas atau sebab akibat.
Sebagai contoh, fungsi surat Al Fathihah di dalam Al Qur’an ditunjukkan oleh
judulnya, yang artinya Pembukaan. Di dalam buku, Pembukaan atau Kata
Pembukaan sering disebut sebagai Kata Pendahuluan. Di dalam Hadis Qudsi
dijelaskan bahwa Al Fathihah itu terdiri dari 7 ayat, 3 ayat yang pertama (ayat
ke 1 Alhamdu lillaahi rabbil ’aalamin, ayat ke 2 Ar rahmaanir-rahiim dan ayat
ke 3 Maaliki yaumid-diin) karena merupakan puji-pujian maka dikatakan untuk
Tuhan atau hablum min Allah (bener nggak tulisane?), sedangkan 3 ayat terakhir
(ayat ke 5 Ihdinash shiraathal mustaqiim, ayat ke 6 Shraathal-ladziina an’amta
’alaihim dan ayat ke 7 Ghairil maghdhuubi ’alaihim waladh dhaal-liin) karena
berisi permohonan maka dikatakan untuk manusia atau hablum minannas. Sedangkan
yang ditengah-tengah, yaitu ayat ke 4 (Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin),
merupakan gabungan dari ke duanya (hablum min Allah dan hablum minannas).
Hubungan dengan Tuhan berkaitan dengan masalah keimanan dan hubungan antar
manusia berkaitan dengan masalah keamalan. Ayat ke 4 menunjukkan bahwa amal dan
iman tak ubahnya seperti mata uang dengan dua sisinya, bisa dibedakan tapi
tidak bisa dipisahkan, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh,
karena amal pada dasarnya merupakan implementasi dari iman.
Fungsi Kata Pendahuluan di dalam sebuah buku adalah untuk menjelaskan
pokok-pokok atau garis besar dari seluruh isi buku. Apabila isi dari Kata
Pendahuluannya saling berhubungan dan saling melengkapi, maka hal yang sama
juga terjadi pada isi kitabnya. Padahal isi kitab adalah ilmu pengetahuan, dan
dari ilmu pengetahuan tersebut terbentuklah keimanan seseorang.
Dengan
kata lain, di dalam setiap kegiatan hidup yang kita lakukan seharusnya antara
ilmu pengetahuan, keimanan dan amal merupakan satu kesatuan yang utuh. konsisten
dengan keimanan kita, dengan demikian maka kehidupan kita sehari-hari merupakan
realita dari ibadah kita. Namun hal yang demikian tersebut, secara jelas dan
gamblang tidak akan didapatkan kalau kita mempelajarinya (Al Qur’an) secara
sepotong-sepotong, tetapi harus secara menyeluruh atau holistik dengan mengikut
sertakan seluruh komponen yang ada di dalamnya.