Translate

Friday, 30 January 2015

Ayat Tentang Sistem Informasi

Di dalam mempelajari sesuatu seringkali kita kurang memperhatikan bahwa suatu karya pada hakikatnya merupakan realisasi dari kehendak penciptanya. Kurangnya perhatian terhadap hal yang demikian tadi membuat kita sulit untuk menentukan secara pasti mengenai motivasi dan tujuan dari dilakukannya suatu kegiatan.

Di dalam salah satu tulisan di media elektronik,  dan juga pernah terlontar dalam suatu forum diskusi yang informal, suatu pertanyaan yang mendasar tetapi obyektif dan kritis sehingga menarik untuk direnungkan, yaitu tentang proses penyusunan Al Qur’an.

Pertanyaannya adalah mengapa penyusunan ayat-ayat Al Qur’an itu terkesan tidak teratur atau acak-acakan, topik dari ayat-ayatnya terlihat meloncat-loncat, tidak seperti buku-buku pada umumnya yang pola penyusunannya sudah menggunakan kaidah-kaidah penulisan suatu karya tulis, sehingga alur penjelasannya menjadi runtut dan teratur.  Dengan cara penyusunan ayat yang topiknya meloncat-loncat, maka apabila surat dibaca secara runtut dari awal hingga akhir, hasilnya adalah kebingungan pada saat mau membuat kesimpulan dari apa yang telah dibaca tersebut.

Kejanggalan-kejanggalan sistim penulisan tersebut antara lain dapat disebutkan sebagai berikut,
Pertama, adanya hubungan yang tidak jelas antara topik suatu kelompok ayat dengan kelompok lainnya dalam suatu surat. Gejala semacam ini sangat dirasakan oleh mereka yang tidak mengerti tulisan maupun bahasa Arab. Dengan kondisi yang demikian tersebut, maka satu-satunya usaha pemahaman  yang memungkinkan untuk dilakukan hanyalah belajar melalui Tafsir Al Qur’an.

Kedua, hal yang serupa juga dapat dilihat pada hubungan judul surat dengan ayat-ayat yang ada di dalamnya. Padahal fungsi judul adalah menunjukkan tema dari topik atau pokok-pokok pikiran dari seluruh ayat yang ada. Dengan demikian, seharusnya antara judul surat dengan ayat-ayat yang ada di dalamnya terdapat hubungan  makna yang erat sekali. Namun kenyataan yang ada tidak demikian. Bahkan terdapat 4 surat yang judulnya tidak dapat dialih bahasakan. Kondisi yang demikian ini disertai dengan tidak adanya penjelasan yang logis, dapat berakibat pada menurunnya  rasa ingi tahu.

Ketiga, meskipun ayat-ayat maupun susunan ayat-ayatnya tidak berubah, tetapi judul surat bahkan judul Al Qur’annya sendiri  lebih dari satu. Berbeda halnya dengan karya manusia, dengan materi tulisan yang sama buku ilmu pengetahuan hanya mampu menjelaskan satu tema pokok yang tertentu, tidak bisa lebih.

Keempat, yang perlu direnungkan, meskipun fakta-faktanya menunjukkan adanya ketidak teraturan, namun manusia tidak di benarkan untuk merubah posisi surat maupun posisi ayat di dalam suatu surat. Sebab dalam salah satu ayatnya disebutkan bahwa metoda penyusunan yang demikian itu merupakan cara Tuhan di dalam menjelaskan kandungan keilmuan Al Qur’an, oleh karena itu bersifat otoritatif.

Sesungguhnya telah Kami datangkan sebuah Kitab kepada mereka. Kami jelaskan atas dasar-dasar ilmu pengetahuan dari Kami sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
(QS. 7 Al A’raaf: 52).

Catatan: lihat juga QS. An Nisa’: 166; QS. 17 Al Israa’: 36 dan QS. 8 Al Anfaal: 22.

Dari ayat tersebut di atas, dengan jelas dinyatakan bahwa metoda yang dipakai di dalam penyusunan Al Qur’an sudah menggunakan dasar-dasar atau kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, jadi bukan sekedar hanya merupakan kumpulan informasi yang bersifat historis- normatif. Dengan disebutkannya ilmu pengetahuan dari Kami menunjukkan bahwa, obyek kajian Al Qur’an bukan hanya sebatas ilmu pengetahuan yang sudah dimiliki oleh manusia sekarang, tetapi bahkan sampai akhir jaman kandungan keilmuannya tak akan pernah selesai dikaji.
Seandainya semua pohon-pohonan di bumi dijadikan pena dan lautan menjadi tintanya, sesudah kering ditambah lagi dengan tujuh lautan, semuanya akan kering, namun tak akan habis-habisnya Kalam Allah dituliskan. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Luqman: 27)

Catatan: lihat juga QS.18 Al Kahfi: 109.
Obyek kajian Al Qur’an meliputi seluruh ciptaan Tuhan, baik yang bersifat fisikal maupun yang nonfisikal (gaib). Dari seluruh mahluk ciptaan Tuhan yang ada, dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu alam dan manusia.

Dan bagi orang-orang yang yakin, di muka bumi terdapat ”tanda-tanda kekuasaan Tuhan”. Dan pada dirimu sendiri ”tanda-tanda kekuasaan Tuhan” itu tidakkah kamu perhatikan?
(QS. Adz Dzaariyaat: 20; 21).

Seluruh ciptaan Tuhan pada hakikatnya adalah ayat yang sering sekali disebut sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhan atau sunatullah yang secara faktual kita sebut sebagai seluruh fenomena alam semesta. Antara alam dan manusia terdapat persamaan dan perbedaan yang mendasar. Persamaannya, kedua-duanya terdiri atas  unsur-unsur yang bersifat fisikal maupun yang nonfisikal. Sedangkan perbedaannya, pola kehidupan alam sudah given atau sudah pasti sehingga alam tidak mampu menjadikan dirinya sendiri seperti apa yang dikehendakinya.

Atau dengan kata lain dapat disebutkan bahwa kepatuhan alam terhadap perintah Tuhan bersifat total. Berbeda halnya dengan manusia yang oleh Penciptanya dikarunia akal budi dan kehendak bebas (freewill). Dengan adanya  kehendak bebas tersebut maka setiap manusia mempunyai kehendak, keinginan atau nafsu serta kemampuan merealisasikan kehendak tersebut, misalnya membuat dirinya sendiri menjadi seperti apa yang diinginkannya.
Dengan adanya pengertian ayat sebagai fakta, maka fakta-fakta yang bersifat fisikal keberadaannya dapat ditangkap oleh pancaindera, tidak demikian halnya dengan fakta-fakta yang gaib, misalnya malaikat, jin dan ruh. Berbeda dengan kegaiban mahluknya, kegaiban Tuhan bersifat absolut karena hanya sebagian kecil dari pengetahuan tentang diri-Nya yang diberikan kepada manusia. Dengan demikian manusia tidak mungkin akan mampu memahami totalitas dari Dzat Tuhan.

Karena fakta menurut pengertian Al Qur’an meliputi yang fisikal maupun yang gaib, maka rasionalitas Al Qur’an bukanlah rasionalitas yang bersifat materialistis seperti ilmu pengetahuan Barat, Keberadaan kegaiban merupakan suatu fakta oleh karena yang gaib juga bersifat rasional. Yang seringkali terjadi, sesuatu itu dikatakan gaib apabila penjelasan rasionalnya belum ada, tetapi apabila fenomena tersebut sudah mampu dijelaskan secara rasional maka dia sudah tidak dianggap bersifat gaib lagi.

Dari waktu ke waktu, cara berfikir manusia senantiasa mengalami perkembangan, semakin lama semakin kritis, realistis, sistimatis dan logis. Kondisi perkembangan manusia yang demikian tersebut merupakan indikator tentang perkembangan kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan.  Sampai dengan saat sekarang ini, konstruksi pemahaman agama sebagai suatu ilmu pengetahuan, kebanyakan masih terbatas kepada hal-hal yang bersifat historis-normatif seperti misalnya sorga- neraka, dosa-pahala, kisah para nabi maupun orang-orang yang hidup pada masa lalu lengkap dengan segala  ancaman-ancaman (?) Tuhan. Ini bukan masalah benar atau salah, tetapi mengingat perkembangan manusia yang demikian tadi, apakah model pemahaman yang demikian tadi masih relefan sehingga tetap harus dipertahankan kelangsungannya.

Berdasarkan atas perkembangan pemikiran manusia tersebut,  maka yang lebih diperlukan adalah digalakannya Kajian Islam. Salah satu caranya adalah melakukan pemikiran-pemikiran atau usaha untuk mentransendensikan Al Qur’an supaya pemahamannya tidak hanya terfokus kepada Kajian Keislaman, yaitu pemikiran ataupun warisan-warisan masa lalu yang kebanyakan masih bersifat historis-normatif, sehingga  menyebabkan tersekat-sekatnya pemahaman oleh ajaran-ajaran, doktrin-doktrin yang dogmatis maupun intepretasi yang bersifat ekstra subyektif. Sebab pemikiran-pemikiran yang demikian tadi cenderung mengakibatkan tersendatnya dialog apabila berbicara dengan orang yang belum/tidak pernah mengalaminya.

Berdasarkan atas QS. Al A’raaf: 52 seperti yang sudah disebutkan di atas, Al Qur’an sudah seharusnya diposisikan sebagai sumber informasi, sumber data-data serta sebagai ilmu pengetahuan tentang kehidupan alam semesta dengan segala kehidupan yang ada di dalamnya. Dengan demikian kita menjadikan Al Qur’an bukan semata-mata sebagai postulat teologis tetapi sekaligus juga memposisikannya sebagai sumber teori. Elaborasi yang dilakukan terhadap konstruk-konstruk teoritis Al Qur’an yang demikian tadi pada akhirnya akan menghasilkan perumusan-perumusan teoritis yang dapat dipakai untuk membangun perspektif Al Qur’an di dalam memahami realita kehidupan.

Apabila kita melihat sistim pengetahuan Islam yang murni (Al Qur’an), sesungguhnya Islam mengajarkan cara berfikir yang rasionalistis-empirisdan kontekstual. Namun dalam perkembangannya seringkali didominasi oleh pemahaman-pemahaman yang magis dan mistis, sehingga akhirnya fungsi Al Qur’an tak ubahnya sebagai gudang mantra. Padahal pada sisi lainnya, Al Qur’an berkali-kali menekankan arti penting dari penggunaan akal pikiran dalam mencari pengetahuan melalui kegiatan observasi.

Penggunaan akal pikiran atau sikap rasionalistis membutuhkan kerangka pemikiran yang disiplin, kritis, sistimatis dan logis dengan logika deduktif sebagai sendi pengikatnya. Pada sisi lainnya terdapat dunia empiris yang obyektif, yang berorientasi pada fakta sebagaimana adanya. Kesimpulan umum yang dapat ditarik dari dunia  empirik secara induktif merupakan tonggak penguji terhadap suatu teori tentang kebenaran. Sebab kebenaran suatu keilmuan bukan sekedar merupakan kesimpulan rasional yang koheren dengan sistim kebenaran ilmu pengetahuan yang telah ada, tetapi juga harus sesuai dengan kenyataan yang ada. Hal yang demikian ini tak ubahnya dengan kebenaran sejati  Al Qur’an dimana kebenaran teoritisnya (ayat kauliah) sekaligus merupakan kebenaran empiris (ayat kauniah). Kebenaran sejati inilah yang juga menjadi tujuan ilmu pengetahuan, sebab tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menjelaskan sesuatu sebagaimana adanya.

Untuk mencapai kebenaran sejati tersebut, maka di dalam dunia ilmu pengetahuan dikenal adanya Metoda Keilmuan yang pada dasarnya merupakan penggabungan antara rasionalisme dengan empirisme.  Dengan adanya Metoda Keilmuan, maka antara gagasan atau buah pikiran dengan ilmu pengetahuan menjadi dapat dibedakan. Dengan demikian hakekat keilmuan ditentukan oleh dilakukannya cara berfikir yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan suatu keilmuan. Hal ini diungkapkan agar kita menjadi sadar sehingga tidak menempatkan ilmu pengetahuan pada struktur feodalisme terselubung yang akhirnya hanya akan menghasilkan fanatisme terhadap faham individu ataupun kelompok.

Proses yang sama sebenarnya juga terjadi pada penyusunan Al Qur’an, sebab proses turunnya setiap wahyu juga berdasarkan atas fakta-fakta kehidupan yang faktual pada masanya. Oleh sebab itu dikenal adanya 2 macam ayat, yaitu ayat kauniah atau fakta-fakta yang ada di realitas yang merupakan penyebab dari turunnya wahyu, sedangkan yang satunya lagi adalah ayat kauliah yang merupakan wahyu yang kemudian ditulis sehingga bentuknya menjadi tulisan atau. Kajian terhadap ayat kauniah akan menghasilkan kebenaran empiris, sedangkan kajian terhadap ayat kauliah akan menghasilkan kebenaran rasional yang subyektif. Untuk mencapai kebenaran yang hakiki atau kebenaran sejati, maka untuk mengetahui salah atau benarnya, maka kebenaran rasional yang subyektif tersebut terlebih dahulu harus diuji dengan kebenaran empiris yang ada di realitas.

Dari QS. Al A’raaf: 52, seperti yang telah disebutkan di atas,  kalimat yang menyatakan Kami jelaskan atas dasar-dasar ilmu pengetahuan dari Kami sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dapat diintepretasikan bahwa cara penyusunan Al Qur’an sudah sesuai dengan dasar-dasar penyusunan karya imiah masa kini. Pola penyusunannya tersebut merupakan petunjuk untuk menggali keilmuan atau rahmat yang berguna di dalam kehidupan kita sehari-hari. Sedangkan kata-kata ilmu pengetahuan dari Kami mengisyaratkan adanya perbedaan yang menyangkut masalah kelengkapan antara ilmu pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan masa kini yang dikembangkan oleh orang-orang Barat. Menurut Einstein, ilmu pengetahuan itu berawal dari fakta dan berakhir dengan fakta, apapun teori yang disusun di antaranya. Dengan demikian obyek yang menjadi kajian ilmu pengetahuan adalah fakta-fakta. Mengenai fakta yang dijadikan obyek kajian, ilmu pengetahuan barat membatasinya sebatas materi yang bersifat fisikal, sedangkan hal-hal atau materi yang bersifat gaib tidak dimasukkan sebagai obyek kajian, dengan alasan sulit melakukan ferifikasi terhadap validitas dan kebenarannya. Lain halnya dengan kajian ilmu agama, materi yang bersifat gaib tetap di anggap sebagai fakta sebab rujukannya adalah Kitab Suci, oleh karena itu obyek kajiannya sebenarnya lebih lengkap.

Pernyataan bahwa penjelasan atau penyusunan Al Qur’an telah menggunakan dasar-dasar pengetahuan atau metode keilmuan, merupakan penjelasan secara tidak langsung bahwa susunan surat-surat maupun ayat-ayat di dalam surat, sudah menggunakan sistimatika dan metode keilmuan. Sistim berasal dari bahasa Yunani, yaitu systema yang berarti keseluruhan yang bulat dan utuh. Dengan demikian kata sistim pada dasarnya dapat dijelaskan sebagai suatu kegiatan atau proses yang bersifat integratif dan transformatif dari seluruh komponen-komponen yang ada di dalamnya. Dikatakan integratif karena proses tersebut bersifat menyeluruh karena melibatkan seluruh komponen yang ada yang fungsinya berbeda-beda satu sama lain. Disebut transformatif karena dari proses yang melibatkan seluruh komponen-komponen yang tersebut kemudian menghasilkan sesuatu yang baru. Dengan demikian, suatu sistim mempunyai pengertian yang jauh berbeda dengan kumpulan, sebab kumpulan tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Artinya adalah bahwa Al Qur’an bukan sekedar merupakan kumpulan surat-surat dan ayat-ayat, yang kemudian dikumpulkan menjadi satu. Tetapi lebih daripada itu, semua komponen-komponennya tersebut satu sama lainnya saling berinteraksi atau berhubungan sehingga mejadi satu kesatuan informasi yang utuh.

Tidak ada bedanya dengan sistem-sistem lain pada umumnya, Al Qur’an sebagai suatu sistim informasi juga mempunyai ciri-ciri sebagai berikut,
Pertama, setiap sistim selalu mempunyaitujuan. Ciri utama dari suatu sistim adalah selalu berorientasi kepada tujuan, sehingga setiap proses yang terjadi di dalamnya juga selalu mempunyai tujuan. Sedangkan apa yang dikatakan sebagai tujuan pada dasarnya merupakan realisasi dari keinginan atau kehendak yang terukur dan oleh karena itu dapat dijelaskan dan dipahami. Tujuan sistimasasi Al Qur’an adalah supaya manusia dapat mengetahui apa kehendak Tuhan terhadap dirinya dalam posisinya sebagai salah satu komponen alam semesta.
Allah menciptakan Alam Semesta ini dengan tujuan yang nyata, justru itu setiap orang akan menerima ganjaran menurut usahanya, sedang mereka tidak teraniaya.

(QS. Al Jatsiyah: 22)
Catatan: lihat juga QS. 46 Al Ahqaaf: 3 ; QS.48 At Taghabun: 3.
Untuk merealisasikan tujuan-Nya tersebut, Tuhan telah merencanakan posisi dan fungsi setiap manusia di dalam tatanan alam semesta, yaitu sebagai Khalifah yang mempunyai hak dan kewajiban untuk mengelola dan melestarikan alam yang berfungsi sebagai penunjang kehidupannya.
Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: ”Sesungguhnya Aku Akan mengangkat Adam menjadi khalifah di muka bumi. Para malaikat bertanya: ”Mengapa Engkau hendak menempatkan di permukaan bumi orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah, sedang kami senantiasa bertasbih memuji dan menyucikan-Mu?” Allah kemudian berfirman: ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa-apa yang tidak kamu ketahui”.
(QS. Al Baqarah: 29)

Merupakan suatu keniscayaan, seorang pemimpin mampu melaksanakan fungsi kepemimpinannya dengan baik dan benar tanpa memiliki ilmu pengetahuan. Dengan demikian, tujuan sistimasasi Al Qur’an adalah menjadikannya sebagai sistim pengetahuan yang dapat membantu setiap manusia di dalam merealisasikan fungsi kekhalifahannya secara tepat.

Kedua, sistim itu mempunyaibatas. Manusia adalah salah satu subsistim dari sistim besar yaitu sistim kosmik. Disebabkan oleh keadaan dirinya yang demikian tadi, yaitu sebagai salah satu komponen dari sistim kosmik yang merupakan sistim besarnya, maka sistim karya manusia mempunyai jarak (batas) dengan lingkungannya yang merupakan sistim besarnya. Al Qur’an sebagai Kitab Besar (alam semesta) adalah sebuah sistim besar yang merupakan salah satu bagian dari sistimyang jauh lebih besar lagi, yaitu Tuhan. Oleh sebab itu Tuhan itu ada di dalam diri setiap ciptaan-Nya, tetapi sekaligus juga mencakup, meliputi dan mengatasi keseluruhan ciptaan-Nya tersebut, seperti yang disebutkan oleh ayat berikut ini.

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat nadinya.
(QS. Qaaf: 16).

Sebagai suatu sistim pengetahuan yang obyek kajiannya meliputi seluruh ciptaan Tuhan, dengan sendirinya Al Qur’an sebagai subsistim dari Pencipta-nya yang merupakan sistim besarnya, maka Al Qur’an tidak mampu menjelaskan tentang diri Tuhan sebagai Sistim Yang Maha Besar tersebut. Sebab suatu karya pada dasarnya merupakan gambaran yang tidak sempurna dari penciptanya, oleh sebab itu suatu karya tidak dapat menjelaskan secara menyeluruh tentang diri penciptanya. Demikian juga halnya dengan Al Qur’an, sebagai suatu sistim pengetahuan maka  batasnya adalah lingkungan besar yang meliputi dirinya dan oleh karena itu tidak dapat dijelaskannya, yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta.

Ketiga, setiap sistim pada dasarnyabersifatterbuka, dia bersifat responsif terhadap adanya stimulasi yang disebabkan karena adanya interaksi dengan lingkungan. Karena berasal dari penjelasan Tuhan, maka ayat-ayat kauliah maupun susunannya bersifat konstan, tidak berubah-ubah atau dengan kata lain sudah dibakukan. Pada pihak lain, ayat-ayat kauiniah bersifat dinamis, berubah-ubah terus sesuai dengan kebutuhan hidup manusianya, namun selalu cenderung kembali ke kodratnya dia yang secara total tunduk dan patuh terhadap hukum alam (sunatullah). Adanya kondisi yang demikian ini, maka kajian terhadap Al Qur’an seharusnya juga bersifat dinamis sehingga tetap bersifat responsible terhadap realitas yang dinamis tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Tuhan sendiri melalui beberapa ayatnya menganjurkan bahwa hendaknya manusia  tidak bersikap menutup diri terhadap dinamika yang terjadi di realitas. Anjuran yang demikian tadi lain ditunjukkan oleh ayat berikut ini,
Dan bila dikatakan kepada mereka:” Ikutilah peraturan-peraturan yang telah diturunkan Allah!” Mereka menjawab: Tidak! Kami hanya mau mengikuti apa-apa kebiasaan yang telah kami dapati dari nenek moyang kami. ”Apakah akan diikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun juga, dan tidak pula mendapat petunjuk Tuhan?”
(QS. Al Baqarah: 170)

Catatan: anjuran yang demikian juga dapat dilihat pada QS. Al Baqarah: 171; QS. Al Ma’idah: 104 serta QS. Luqman: 21.

Keempat, terdiri atas beberapasubsistim dan setiap subsistim terdiri atas subsistim yang lebih kecil lagi. Contohnya sebagai berikut, apabila Al Qur’an adalah sistim utamanya, maka surat merupakan  subsistimnya dengan ayat-ayat sebagai komponen  penyusunnya. Padahal ayat atau kalimat merupakan sistim dari sejumlah kata-kata dan kata merupakan sistim dari huruf-huruf. Dengan demikian ayat merupakan subsistim yang lebih kecil lagi dengan komponen penyusunnya adalah kata, sedangkan kata juga merupakan subsistim dengan huruf sebagai komponen penyusunnya.

Kelima, terdiri atas komponen yang berbeda-beda. Al Qur’an terdiri atas 10 subsistim yang satu sama lain berbeda. Komponen-komponen atau subsistim tersebut secara faktual dapat disebutkan sebagai berikut, Al Juz, Surat, Ayat, Kata, Huruf, Angka, Halaman, Baris, Tanda Ruku’ dan  Tanda Baca. Dari 114 surat yang ada, setiap surat, mempunyai judul dan posisinya masing-masing.  Posisi surat ditunjukkan oleh Nomor Surat, sedangkan Judul Surat menjelaskan tentang fungsinya. Dengan demikian tidak ada satupun surat yang mempunyai fungsi yang sama, sebab posisi maupun judulnya  selalu berbeda dengan surat lainnya. Lain halnya dengan ayat yang secara tekstual sama dan jumlahnya cukup banyak.

Posisi ayat-ayat yang sama tersebut ada yang tersebar pada beberapa surat yang berbeda, tetapi juga ada yang secara bersamaan berada dalam satu surat. Yang posisinya berada pada surat yang berbeda sudah jelas mempunyai fungsi yang berbeda pula, yaitu sesuai dengan judul surat dimana ayat-ayat tersebut berada. Sedangkan yang berada dalam surat yang sama, perbedaan fungsi tersebut ditunjukkan oleh posisi masing-masing ayat di dalam surat yang bersangkutan. Sebab di dalam suatu sistim/struktur, perbedaan posisi menjelaskan adanya perbedaan fungsi.
Keenam, setiap komponennya saling berhubungan dan saling melengkapi. Suatu sistim merupakan organisasi dari seluruh komponen yang ada di dalamnya. Terdapatnya sifat saling berhubungan yang ada pada setiap komponennya menunjukkan adanya interaksi internal, sedangkan hubungan yang bersifat saling melengkapi menunjukkan adanya sifat interdependensi atau saling ketergantungan antara suatu komponen terhadap komponen-komponen lainnya. Dengan terjadinya hubungan yang demikian maka output yang dihasilkan suatu komponen dapat menjadi input bagi komponen lainnya. Selain itu, sifat hubungan yang demikian itu sekaligus menjelaskan bahwa di dalam suatu sistim tidak ada fenomena kejadian tunggal, semua kejadian bersifat kausalitas atau sebab akibat.
Sebagai contoh, fungsi surat Al Fathihah di dalam Al Qur’an ditunjukkan oleh judulnya, yang artinya Pembukaan.  Di dalam buku, Pembukaan atau Kata Pembukaan sering disebut sebagai Kata Pendahuluan. Di dalam Hadis Qudsi dijelaskan bahwa Al Fathihah itu terdiri dari 7 ayat, 3 ayat yang pertama (ayat ke 1 Alhamdu lillaahi rabbil ’aalamin, ayat ke 2 Ar rahmaanir-rahiim dan ayat ke 3 Maaliki yaumid-diin) karena merupakan puji-pujian maka dikatakan untuk Tuhan atau hablum min Allah (bener nggak tulisane?), sedangkan 3 ayat terakhir (ayat ke 5 Ihdinash shiraathal mustaqiim, ayat ke 6 Shraathal-ladziina an’amta ’alaihim dan ayat ke 7 Ghairil maghdhuubi ’alaihim waladh dhaal-liin) karena berisi permohonan maka dikatakan untuk manusia atau hablum minannas. Sedangkan yang ditengah-tengah, yaitu ayat ke 4 (Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin), merupakan gabungan dari ke duanya (hablum min Allah dan hablum minannas). Hubungan dengan Tuhan berkaitan dengan masalah keimanan dan hubungan antar manusia berkaitan dengan masalah keamalan. Ayat ke 4 menunjukkan bahwa amal dan iman tak ubahnya seperti mata uang dengan dua sisinya, bisa dibedakan tapi tidak bisa dipisahkan, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh, karena amal pada dasarnya merupakan  implementasi dari iman.

Fungsi Kata Pendahuluan di dalam sebuah buku adalah untuk menjelaskan pokok-pokok atau garis besar dari seluruh isi buku. Apabila isi dari Kata Pendahuluannya saling berhubungan dan saling melengkapi, maka hal yang sama juga terjadi pada isi kitabnya. Padahal isi kitab adalah ilmu pengetahuan, dan dari ilmu pengetahuan tersebut terbentuklah keimanan seseorang.

Dengan kata lain, di dalam setiap kegiatan hidup yang kita lakukan seharusnya antara ilmu pengetahuan, keimanan dan amal merupakan satu kesatuan yang utuh. konsisten dengan keimanan kita, dengan demikian maka kehidupan kita sehari-hari merupakan realita dari ibadah kita. Namun hal yang demikian tersebut, secara jelas dan gamblang tidak akan didapatkan kalau kita mempelajarinya (Al Qur’an) secara sepotong-sepotong, tetapi harus secara menyeluruh atau holistik dengan mengikut sertakan seluruh komponen yang ada di dalamnya.
 

No comments:

Post a Comment

Kita tidak akan pernah terlepas dari yang namanya "masalah"dalam kehidupan ini. Jika kita tidak memiliki masalah didunia ini lepaslah kodrat kita sebagai manusia (human), untuk kita ketahui masalah adalah harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Masalah beragam macam nya dari hal kecil hingga hal besar seperti cinta, masa depan, motivasi diri, konsep diri, dan sebagainya. Beban pikiran anda selama ini akan anda temukan jawaban nya di rumah-konsul.blogspot.com.
kirim masalah anda lewat email kami agar privasi anda lebih terjaga konsulrumah@gmail.com / Facebook : rumah konsul dan kami akan menceritakan nya lewat blog ini dan nama anda akan kami rahasiakan, tujuan kami agar bisa menjadi pelajaran bagi orang lain.

Hidup tak jauh dari kekurangan, tak perlu dilihat dari hal yang lebih tinggi, bisa ditemui dari kehidupan sehari – hari yang tak pernah kita sadari, yang terkadang kita mengganggapnya remeh. Rumah Konsul hadir bagi teman – teman untuk memberikan informasi,tips, trik, dan cara unik lainnnya sebagai penambah wawasan bagi teman – teman semua.

Happy Reading Friends…..